Tuesday, March 18, 2014

MEMILIH LOKASI


Survei
Salah satu mata kuliah yang wajib diselesaikan sebagai syarat kelulusan adalah Kuliah Kerja Dakwah (KKD), yang di institusi pendidikan lain lebih dikenal dengan istilah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ditetapkan untuk diselesaikan di semester 8, sebagaimana penulisan skripsi.

Sempat terdengar informasi bahwa lokasi KKD sudah ditentukan. Ada beberapa elemen masyarakat yang memesan terlebih dulu pada pihak kampus agar wilayah mereka dibina mahasiswa KKD.

Jika kabar itu benar, kemungkinannya ada dua. Medannya menjadi sangat mudah, karena tak perlu survei lapangan, atau medannya sangat sulit, karena tak ada opsi memilih.

Alhamdulillah, ternyata informasi tersebut tidak benar adanya, atau memang benar tapi kondisinya tidak sesuai.

Setelah kuliah hari pertama, Rabu, 26 Februari, sesuai permintaan dosen yang sekaligus adalah ketua institusi, anggota kelas yang total berjumlah 23 orang dibagi menjadi dua kelompok. Untuk menghindari ashobiyah atau fanatisme sesama teman, kami sepakat untuk menentukan anggota tiap dua kelompok ini lewat undian. Namun, rupanya masih dibutuhkan musyawarah lanjutan untuk menukar beberapa anggota. Ada beberapa mahasiswa yang tak siap jika harus berpisah dengan orang-orang yang ia cintai untuk bisa menjadi teman kerjanya, selain itu, juga karena mempertimbangkan keseimbangan sumber daya manusia di kedua kelompok.

Meski belum tahu lokasi KKD, hari itu juga pembagian kelompok tersebut disetorkan ke pihak kampus. Dan hari itu juga grup di jejaring sosial via smartphone dibuat.

Keesokan harinya, Kamis, 27 Februari, kami sepakat untuk mulai survei lapangan. Berhubung hari itu dosen yang semestinya mengajar berhalangan, kami isi waktu dengan konsolidasi di grup. Informasi masih simpang siur, dari lokasi sampai hari apa saja tiap-tiap anggota bisa ikut ke lapangan.

Kami memutuskan agar bagi yang bisa hendaknya berkumpul di kampus jam 9.30 pagi itu. Rupanya, hal yang sama juga berlangsung di kelompok dua. Mereka juga survei lapangan, tidak ke kampus pada jam pertama. Walhasil, kelas kami bena-benar kosong di jam pertama, dan ini rupanya menimbulkan tanda tanya di pihak kampus.

Menyamakan jadwal memang tidak mudah. Informasi lokasi yang mungkin cocok dijadikan tempat KKD masih juga simpang siur. Ada beberapa informasi, di antaranya adalah Jati Bening, Jati Waringin, dan Kalimalang di mana banyak komunitas pemulung. Kendala utama adalah tidak adanya info detail lokasi. Lalu kami mendapat masukan untuk mencoba ke Jonggol, di sekitar Taman Mekarsari, lewat Jl. Alternatif - Cibubur.

Berangkatlah tiga orang yang bisa datang ke kampus pagi itu, ke lokasi pertama, Jonggol, dekat Cibubur. Waktu salat duhur sudah masuk, maka kami mampir di Citra Gran untuk ishoma. Setelahnya, melanjutkan perjalanan menuju Jonggol. Kondisi lalulintas merayap di kedua jalur. Menit-menit terus berjalan. Sebentar lagi bel di banyak sekolah tanda pelajaran usai akan berbunyi. Kami pun berdiskusi, dan memutuskan bahwa dari segi akses, lokasi ini tidak kondusif, mengingatkan kami semua punya waktu terbatas, mesti jemput anak atau ada jam mengajar di tempat lain.

Diskusi terus berlanjut di grup, masih diwarnai kesimpangsiuran.

Di Jati Bening
Sabtu, survei ke lapangan kembali dilanjutkan. Tujuan kedua adalah wilayah Jati Bening, tidak terlalu jauh dari LTQ Iqro', Pondok Gede. Hanya dua orang yang ke lokasi, dan dari pantauan sekilas, kondisinya cukup ideal. Secara umum keadaan masyarakat setempat cukup homogen, banyak kontrakan petak satu pintu, warganya banyak terdiri dari ibu-ibu dan anak-anak kecil.

Kami ke rumah Ketua RT setempat, namun setelah mengetuk beberapa kali, tak ada tanda-tanda tuan rumah ada atau berkenan menerima tamu.

Foto-foto kondisi lapangan kami share di grup, untuk jadi bahan pertimbangan bagi teman-teman yang tidak dapat ikut ke lokasi.

Perjalanan kami lanjutkan ke lokasi yang ketiga. Jati Waringin. Akses masuk hanya gang kecil, maka kendaraan kami parkir di area pompa bensin. Salah seorang teman ikut bergabung dengan mengendarai motor. Tim survei menjadi tiga orang.

Satu jam sebelum waktu duhur masuk, kami mulai menyusuri gang-gang sempit. Perjalanan dari lokasi parkir cukup jauh, berkelok-kelok dari gang ke gang, melewati penduduk yang menatap kami dengan raut wajah menyimpan tanda tanya.

"Bantaran kali di mana, Pak, Bu?"

"Di sini gak banjir kok..."
Beberapa penduduk menunjukkan jalan.

Tiba di lokasi, suasana terasa sepi. Hanya ada tiga-empat anak berkeliaran, membawa jajanan atau main batu. Kami menghampiri salah satunya, dan menanyakan apakah daerah itu terkena banjir di musim hujan. Dengan tegas dan yakin ia mengatakan tidak. "Tidak pernah banjir di sini." Kami saling bertatapan. Info yang kami terima sebelumnya, kurang benar.

Secara umum, kondisi masyarakat heterogen. Di antara rumah-rumah sangat sederhana, tiba-tiba berdiri satu-dua rumah yang tak bisa disebut sederhana. Beberapa rumah meski tak begitu bagus, terlihat memarkir kendaraan roda empat di pekarangannya. Ini tak sesuai dengan kriteria lokasi binaan KKD yang kami inginkan, yaitu pemukiman yang benar-benar tertinggal atau karena ada sesuatu hal lain yang memang urgen untuk dibenahi.

Selain itu, Jjika ditimbang dari segi akses, lokasi ini lebih jauh dan lebih rentan macet, yang akan menyita waktu perjalanan nantinya. Sampai juga kabar kepada kami bahwa daerah ini sebenarnya sudah 'terbina', meski hal ini bukan halangan utama, karena memperkuat apa yang sudah dirintis sebelumnya bukanlah sebuah kekeliruan.

Kami mnghampiri lagi seorang ibu yang kebetulan keluar dari rumahnya, menanyakan perihal banjir. Jawabannya tak berbeda dengan jawaban sang anak.

Foto-foto lokasi kembali kami share ke teman-teman di grup.

Ahad. Senin. Tak ada survei lapangan. Hanya diskusi yang mengambang di grup. Alternatif keempat muncul. Sebuah daerah yang dikenal dengan nama Sumur Binong, berlokasi di sekitar Jl. Ujung Aspal. Sempat dilirik kakak kelas terdahulu, namun kabarnya mereka takut karena banyak anjing. Rupanya kelompok dua juga sempat menjadikannya alternatif, namun karena info di daerah tersebut masih banyak santet, mereka memilih mencari tempat lain.

Selasa, usai pengajian bulanan kelas, kami sepakat meninjau Sumur Binong. Kali ini tim survei lebih ramai, ada sekitar 6 orang.

Mata Air "Sumur" Binong
Kendaraan diparkir cukup jauh. Kami berjalan kaki memasuki wilayah yang sejak awalnya sudah banyak pohon rambutan menyambut. Semakin ke dalam semakin rindang, beberapa warga sedang memanen rambutan. Perumahan warga terlihat sangat sederhana, masih banyak yang bahan utama bangunannya adalah kayu. Kami diantar ke rumah ketua RT, yang Alhamdulillah meski dengan kunjungan yang tiba-tiba, menerima kami dengan baik.

Pak RT kemudian menceritakan banyak hal tentang wilayahnya. Keluarga muslim mungkin hanya sekitar 20KK. Selebihnya, penganut aliran kepercayaan atau keyakinan lainnya.

Usai berbincang cukup lama di beranda rumahnya yang sejuk dan berdipan rotan, kami diajak melihat lokasi di mana sumur yang kabarnya diyakini mandi dengan airnya bisa mendatangkan jodoh itu berada. Bukan sumur sebenarnya. Hanya mata air. Kondisinya tidak terawat, bekas-bekas orang habis mandi kembang masih terlihat, dan hanya ada gubuk sederhana tempat berganti pakaian. Pak RT menceritakan bahwa tiap malam jumat tempat itu ramai dikunjungi orang dari berbagai daerah.

"Seika berapa bu?"
Kami pun pulang dengan terlebih dulu singgah menyapa warga yang sedang memanen rambutan. Membeli beberapa ikat sebagai sarana berbincang-bincang dan tentunya oleh-oleh untuk yang di rumah. Saat kami berlalu, seorang nenek yang sebelumnya mengantar kami ke rumah Pak RT, membisiki kami, "...yang manen itu..."

Lokasi ini sebenarnya cukup ideal. Setidaknya kami bisa konsentrasi pada 20 KK itu. Membina anak-anaknya, membuat perpustakaan... Namun jumlah kecil itu sepertinya terlalu sedikit sesuai untuk kami yang berjumlah 11 orang. Belum tentu dari 20 KK itu bisa hadir tiap kali pertemuan.

Kami kembali pulang dengan keputusan yang masih mengambang. Namun, kami memutuskan untuk mencoba semaksimal mungkin mengontak pihak yang berwenang di wilayah Jati Bening. Setelah beberapa kali usaha dengan telepon langsung, akhirnya menjelaskan lewat sms, kami pun mendapatkan jawaban. Ini menjelang pemilu, pihak sana tak menerima kegiatan-kegiatan yang ditengarai ada hubungannya dengan politik. Meski sudah mencoba menjelaskan kami murni hanya mahasiswa, mereka tetap tak bisa menerima, karena memang seluruh aparat sedang sibuk mempersiapkan pemilu, demikian penjelasan mereka.


Salah satu sudut perkampungan di Jati Sampurna
Rabu. Kembali bertemu dengan Ustadz yang meminta kami dibagi dua kelompok. Kembali kami ditanyaBa'da kuliah, alternatif kelima muncul. Bagaimana dengan daerah lokalisasi di sekitar Citra Gran? Kami sepakat pagi itu juga meninjau ke sana. Kali ini, 10 orang bisa ikut.
i kepastian lokasi. Kembali kami tak bisa menjawab.

Akses mula-mula lewat daerah Kranggan. Kami melewati beberapa "losmen merah", yang merupakan tempat lokalisasi yang disukai orang-orang yang tak bermoral. Menurut Retno yang tinggal di Citra Gran, daerah itu memang daerah lokalisasi yang cukup besar. Dulu malah di sepanjang jalan utama, Jalan Alternatif Cibubur, seberang Citra Gran, berjejeran kios-kios atau losmen-losmen seperti itu.
Salah satu "losmen merah" di Jati Sampurna

Kami tiba di rumah Ketua RT 01, Pak Achim. Beliau dan keluarganya menyambut kami dengan hangat di rumah kayunya yang sangat sejuk. Sama sekali tak terasa itu berada tak jauh dari ibu kota. Setelah berbincang sekitar seperempat jam, Pak Achim dengan golok yang masih tersanding di pinggangnya -usai mencari rumput untuk kambingnya- mengantar kami ke rumah Pak RW. Kami memasuki pelosok perkampungan, lewat rute yang membuat penumpang kuatir mobil akan terperosok atau kehilangan keseimbangan, karena jalannya sangat sempit dan rusak.


Tiba di lokasi, rupanya ketua RW sedang menghadiri hajatan. Meski begitu, Pak RW menemui kami dan berkenan kami ajak ngobrol walau tak lama. Kali ini kami lebih siap. Kami menyerahkan proposal pendahuluan sederhana. Beliau setuju dan menganggap rencana kegiatan kami bukan sesuatu yang tidak bagus. Lembar isian nama dan jabatan tokoh masyarakat setempat sudah kami berikan,yang lalu beliau mengisi dengan tersenyum. Kami pun pamit dengan permintaan maaf telah mengusik jalannnya acara.

Karena anggota sudah cukup lengkap saat itu, kami kembali memutuskan meninjau Jati Waringin. Rute yang sama yang ditempuh tim pendahulu pada Sabtu, kembali dilewati. Di perjanan pulang, teman-teman mulai kelelahan. Langkah terasa berat di bawah terik matahari. Waktu duhur sudah masuk. Kami memutuskan untuk ishoma di restoran dekat lokasi.

Warna beda, isi sama.
Usai shalat, dan sambil makan siang, kami berdiskusi tentang pilihan lokasi. Setelah menimbang-nimbang, kami memutuskan untuk memilih lokasi kelima, Citra Gran, sebagai partner KKD kami. Dengan pertimbangan di antaranya, kondisi kehidupan warga yang cukup homogen berada di bawah garis kesejahteraan, kedua, banyaknya praktek asusila di lokasi cukup mengkhawatirkan, kami berharap bisa turut berpartisipasi bersama warga setempat untuk meminimalkan dan mengikis pengaruh buruk aktifitas yang merusak masyarakat itu.  ###

No comments:

Post a Comment